Kelirukah Murjiah, Mutazilah dan Asyairah?

Murji’ah

Ibnu ‘Uyainah mengatakan,

” الْإِرْجَاءُ عَلَى وَجْهَيْنِ: قَوْمٌ أَرْجَوْا أَمْرَ عَلِيٍّ وَعُثْمَانَ ، فَقَدْ مَضَى أُولَئِكَ ، فَأَمَّا الْمُرْجِئَةُ الْيَوْمَ فَهُمْ قَوْمٌ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ بِلَا عَمِلٍ ” .
انتهى من “تهذيب الآثار” (2/ 659)

“Irja’ (pemahaman murji’ah) itu ada dua bentuk. Pertama, mereka yang menangguhkan urusan ‘Ali dan ‘Utsman. Tipe pertama dari Murji’ah sudah lewat masanya. Adapun murji’ah saat ini yang menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan tanpa amalan.” (Tahdzib Al-Atsar, 2: 659)

Beberapa keyakinan menyimpang dari Murji’ah:

  • Definisi iman hanyalah pembenaran dalam hati, atau pembenaran dengan hati dan lisan saja, tanpa memasukkan amalan.
  • Amalan tidak masuk dalam hakikat iman, juga bukan bagian dari iman. Jika amalan ditinggalkan seluruhnya, iman tidak akan hilang seluruhnya.
  • Pelaku maksiat tetap dikatakan sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.
  • Amalan hanya masuk dalam kewajiban iman dan buahnya, amalan bukanlah masuk dalam hakikat iman.
  • Iman tidaklah bertambah dan tidak berkurang. Karena iman hanyalah pembenaran dengan hati yang tidak bisa masuk penambahan ataukah pengurangan.

Mu’tazilah

Disebut Mu’tazilah merujuk pada i’tizalnya (menyingkirnya) Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr bin ‘Ubaid dari majelis (halaqah) Al-Hasan Al-Bashri. Ada saat itu seseorang yang mengungkapkan pada Al-Hasan Al-Bashri, “Wahai imam, telah muncul di zaman kita ini orang-orang yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dihukumi kafir oleh mereka. Mereka menganut paham yang sama dengan Wa’idiyyah yaitu kaum Khawarij dalam hal ini.”

Al-Hasan Al-Bashri kemudian merenung sejenak. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri, Washil lantas menimpali, “Aku tidaklah mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mukmin secara mutlak atau kafir secara mutlak. Pelaku dosa besar itu berada pada manzilah bayna manzilatain (di antara dua keadaan), yaitu tidak mukmin, tidak kafir.”

Kemudian Washil keluar, lantas Al-Hasan Al-Bashri memberikan jawaban pada murid-muridnya, “Washil telah i’tizal (menyingkir) dari kita.” Setelah itu diikuti lagi oleh ‘Amr bin ‘Ubaid. Lantas Al-Hasan Al-Bashri dan murid-muridnya menyebut mereka berdua dengan sebutan Mu’tazilah. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 27)

Penyimpangan dari Mu’tazilah adalah:

  • Menolak semua sifat Allah.
  • Dalam masalah takdir, Mu’tazilah adalah Qadariyyah yaitu menolak takdir.
  • Punya pendapat yang hampir sama dengan Jahmiyyah yaitu meniadakah kalau Allah dapat dilihat pada hari kiamat, menyatakan Al-Qur’an itu makhluk (bukan kalamullah).
  • Menganggap bahwa semua ilmu itu kembali pada akal untuk bisa menerimanya.
  • mirip dengan Khawarij yaitu menganggap pelaku dosa besar kekal dalam neraka, namun mereka tidak berani mencap kafir. Itulah mengapa Mu’tazilah disebut “bancinya Khawarij” (Mukhanits Al-Khawarij).
  • Orang mukmin dianggap tidak masuk neraka, namun cuma mendatangi saja. Karena kalau masuk neraka, tak mungkin keluar lagi dari neraka sama sekali.
  • Menganggap bahwa surga dan neraka tidak kekal (akan fana).
  • Menyatakan Allah di mana-mana, di setiap tempat (Allah bi kulli makan).
  • Mengingkari adanya siksa kubur. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 30-31)

Muktazilah punya usul khamsah (lima landasan pokok), seperti rukun Islam di kalangan mereka dan lima prinsip ini disepakati oleh kaum Mu’tazilah. Lima prinsip itu adalah:

  • At-Tauhid (keesaan Allah)
  • Al-‘Adlu (keadilan)
  • Manzilah bayna manzilatain (kedudukan diantara dua kedudukan)
  • Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan ancaman Allah)
  • Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar (amar makruf nahi munkar)

Sekilas tidak ada masalah dengan 5 pokok di atas. Namun mereka memaksudkan interpretasi yang sesat atas semua pokok tersebut.

  • Tauhid dimaksudkan untuk meniadakan sifat-sifat Allah.
  • Al-‘Adlu dimaksudkan untuk mengingkari bahwa perbuatan hamba diciptakan oleh Allah.
  • Manzilah bayna Manzilatain maksudnya adalah bahwa pelaku dosa besar berada di antara dua kedudukan, mereka tidak disebut mukmin, tidak pula disebut kafir.
  • Al-Wa’du wa Al-Wa’id dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka.
  • Al-Amru bi Al-Ma’ruf wa An-Nahyu ‘an Al-Munkar dimaksudkan untuk menghalalkan pemberontakan kepada penguasa zalim. (Pengantar Kitab Kibar Al-Mu’tazilah wa Dhalaluhum, hlm. 32-75)

 

Asya’irah

Asya’irah adalah kelompok yang menyandarkan pemahamannya pada Abul Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan Abul Hasan Al-Asy’ari dalam fase kehidupannya melewati beberapa tahapan.

Pertama, Abul Hasan berpaham Mu’tazilah. Fase ini dijalani selama 40 tahun.

Kedua, beliau merujuk pada pemahaman Kullabiyyah lewat pelopornya ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah (nukilannya bisa dilihat di Siyar A’lam An-Nubala’ (14: 380, Penerbit Muassasah Ar-Risalah), Imam Ahmad bin Hambal yang paling santer membantah pemahaman ‘Abdullah bin Sa’id bin Kullab.

Ketiga, merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Namun apakah secara keseluruhan, Abul Hasan mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah ataukah ada pemahaman Kullabiyah yang masih dianutnya? Di sini para ulama berbeda pandangan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dan Syaikh Hafizh Al-Hakami berpendapat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari sudah mengikuti pemahaman Ahlus Sunnah.

Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan dalam kitabnya Al-Ibanah di bagian akhir,

“Perkataan kami yang kami menjadikan bagian dari agama kami adalah berpegang pada Kitabullah dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para ulama pakar hadits. Kami berpegang teguh pada itu semua. Yang perpegang dengan akidah seperti itu pula adalah Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya.”

Namun Asya’irah saat ini punya pemahaman yang berbeda dengan Abul Hasan Al-Asy’ari yang pada fase terakhir merujuk pada pemahaman Ahlus Sunnah. Secara lengkap pemahaman Asya’irah ini dibahas oleh Syaikh Safar Al-Hawali dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memuji buku karya beliau tersebut untuk dijadikan rujukan. Silakan merujuk pada: https://islamqa.info/ar/226290.

Asya’irah saat ini punya pemahaman menyimpang:

  • Berpaham Jabariyah dalam hal takdir, bahwasanya Allah memaksa hamba untuk berbuat, tanpa punya pilihan.
  • Murji’ah dalam masalah iman.
  • Mu’attilah (menolak sifat) dalam masalah sifat Allah.
  • Asya’irah hanya mengakui tujuh atau sebagian sifat saja. Karena sifat-sifat yang mereka tetapkan itulah yang pas menurut akal.
  • Asya’irah menolak sifat Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy dan menolak sifat ketinggian bagi Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah bukan di dalam alam, bukan di luarnya, bukan di atas, bukan di bawah.

Sampai-sampai Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits no. 28), hlm. 316 (Penerbit Daruts Tsaraya), “Kitab yang paling bagus membantah Asya’irah adalah kitab karya saudara kami Safar Al-Hawali. Karena kebanyakan orang tak memahami penyimpangan Asya’irah dari madzhab salaf melainkan dalam bahasan Asma’ dan Sifat saja. Padahal sejatinya mereka punya penyimpangan yang banyak.”

Syarhus Sunnah: Belajar Akidah, Agar Selamat dari Pemahaman Sesat

Di antara tujuan para ulama menulis kitab Akidah adalah untuk menyelamatkan umat dari pemahaman sesat. Inilah yang dijelaskan juga oleh Imam Al-Muzani ketika mengawali kitab akidah beliau.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

عَصَمَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِالتَّقْوَى وَوَفَقَنَا وَإِيَّاكُمْ لِمُوَافَقَةِ الْهُدَى

Semoga Allah menjaga kami dan kalian dengan takwa dan memberikan taufik kami dan kalian untuk (berjalan) sesuai petunjuk.

Ini adalah doa dari Imam Al-Muzani supaya kita dijaga oleh Allah dari maksiat dan kejelekan dengan bertakwa. Kalimat ‘ishmah dalam doa ini maksudnya adalah agar Allah menyelamatkan kita dari kejelekan. Juga dalam doa di atas, Imam Al-Muzani mendoakan supaya kita diberi petunjuk oleh Allah untuk mengamalkan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-huda yang dimaksud dalam doa ini adalah syari’at Rasul.

Pengertian Takwa

Takwa secara bahasa berarti menjadikan pelindung. Secara istilah syar’i, takwa adalah menjadikan antara diri kita dan azab Allah pelindung dengan menjalan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan kita penjelasan menarik mengenai pengertian takwa. Beliau rahimahullah berkata, “Takwa adalah seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:433)

Hidayah Milik Allah

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib (paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,

أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ

“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah berkata,

يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ

“Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthallib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Mutthalib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,

لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ

“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah.”

Kemudian turunlah ayat,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufik) kepada orang-orang yang engkau cintai.” (QS. Al-Qasshash: 56) (HR. Bukhari, no. 3884)

Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan hidayah itu ada dua macam:

  1. Hidayah irsyad wa dalalah, maksudnya adalah hidayah berupa memberi petunjuk pada orang lain.
  2. Hidayah taufik, maksudnya adalah hidayah untuk membuat seseorang itu taat pada Allah.

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّكَ أَصْلَحَكَ اللهُ سَأَلْتَنِي أَنْ أُوْضِحَ لَكَ مِنَ السُّنَّةِ أَمْرًا تُصَبِّرَ نَفْسَكَ عَلَى التَّمَسُّكِ بِهِ وَتَدْرَأُ بِهِ عَنْكَ شُبَهَ الْأَقَاوِيْلِ وَزِيْغَ مُحْدَثَاتِ الضَّالِّيْنَ وَقَدْ شَرَحْتُ لَكَ مِنْهَاجًا مُوَضَّحًا مُنِيْرًا لَمْ آلَ نَفسِي وَإِيَّاك فِيهِ نُصْحًا

Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya Anda telah meminta kepadaku untuk menjelaskan As-Sunnah dengan penjelasan yang membuat jiwa Anda bisa bersabar dalam berpegang teguh dengannya, dan dengan penjelasan tersebut bisa menolak ucapan-ucapan yang mengandung syubhat (kerancuan), dan penyimpangan orang-orang yang mengada-ada lagi sesat. Aku akan menjelaskan (sebentar lagi) manhaj (metode) yang jelas dan terang benderang dengan sepenuh jiwa, moga sebagai nasihat untukku, juga Anda.

 

Muqaddimah ini maksudnya ada yang meminta kepada beliau untuk menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lantas beliau memenuhinya dengan menuliskan risalah ini.

Berpegang teguh dengan Sunnah itu butuh kesabaran dan berat untuk dijalankan.

Akidah ini butuh dijelaskan agar selamat dari berbagai pemikiran menyimpang dan dari berbagai bid’ah yang dibuat-buat oleh orang yang sesat. Beliau menjelaskan dengan sejelas-jelasnya manhaj (metode) beragama yang dimaksud. Yang diharapkan, hal ini sebagai nasihat untuk beliau dan juga yang membaca tulisan beliau.

Ucapan Amma Ba’du

Ucapan Amma Ba’du termasuk dalam fashlul khitab yang dimaksudkan dalam ayat yang membicarakan tentang Nabi Daud ‘alaihis salam,

وَشَدَدْنَا مُلْكَهُ وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (QS. Shaad: 20).

Hikmah yang dimaksud di sini adalah Kitabullah dan mengikuti isinya, sebagaimana pendapat Qatadah. As-Sudi menyatakan hikmah yang dimaksud adalah nubuwwah (kenabian).

Abu Musa menyatakan bahwa kalimat “Amma Ba’du” pertama kali diucapkan oleh Daud ‘alaihis salam yaitu sebagai fashlul khitab, pemisah pembicaraan. Asy-Sya’bi juga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fashlul khitab adalah kalimat “Amma Ba’du”. Demikian disebutkan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir rahimahullah.

Ucapan Amma Ba’du sendiri punya tujuan untuk masuk dalam materi yang dimaksud. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Khalid bin Mahmud Al-Juhani dalam penjelasan Syarhus Sunnah.

Penggunaan Istilah Sunnah

Pertama: Sunnah bisa maksudnya adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum dalam segala urusan beliau.

Menurut ulama hadits, sunnah adalah ucapan, perbuatan, persetujuan, hingga sifat fisik, dan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan menurut ulama Ushul, sunnah adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Sunnah digunakan untuk lawan kata dari bid’ah.

Orang yang berpegang teguh dengan sunnah disebut ahli sunnah.

Al-Hafizh Abu ‘Amr bin Ash-Shalah rahimahullah pernah ditanya, sebagian orang bertanya tentang Imam Malik bahwa ia menggabungkan sunnah dan hadits. Lalu apa perbedaan antara As-Sunnah dan Al-Hadits?

Ibnu Ash-Shalah rahimahullah menjawab, “As-Sunnah di sini adalah lawan kata dari bid’ah. Bisa saja seorang menjadi ahli hadits namun ia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’). Imam Malik—semoga Allah meridhai beliau—menggabungkan dua sunnah. Beliau itu paham masalah sunnah (hadits) dan keyakinan beliau adalah berpegang pada kebenaran (bukan berpegang pada bid’ah). Wallahu a’lam.” (Fatawa Ibnu Ash-Shalah, 1:139-140)

Ketiga: Sunnah berarti dianjurkan, yaitu lawan dari wajib. Istilah ini digunakan oleh para fuqaha (pakar fikih).

Keempat: Istilah As-Sunnah bisa dimaksud juga adalah akidah. Seperti yang disebut dalam muqaddimah Imam Al-Muzani di sini. Di sini akidah disebut dengan sunnah karena tidak ada ruang bagi akal untuk masuk dalam masalah akidah.

Sabar Berpegang Teguh pada Sunnah Nabi

Sabar secara bahasa artinya menahan diri. Sabar secara istilah syar’i berarti menahan hati dari murka, menahan lisan dari banyak mengeluh, dan menahan anggota badan dari berbuat yang melampaui batas.

Sabar sendiri ada tiga yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari berbuat maksiat kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi ujian (cobaan) dari Allah.

Kenapa kita mesti bersabar ketika menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Hal ini diterangkan dalam hadits-hadits berikut.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi, no. 2260. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali lagi dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengenai ghuroba’, lalu beliau menjawab, “(Ghuroba atau orang yang terasing adalah) mereka yang memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad, 4:74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dha’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad, 1:184 dari Sa’ad bin Abi Waqqash dengan sanad jayyid)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

Beruntunglah orang-orang yang terasing.” “Lalu siapa orang yang terasing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya.” (HR. Ahmad, 2: 177. Hadits ini hasan lighairihi, kata Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Tugas Muslim, Saling Menasihati

Dari muqaddimah di atas, diajarkan pula untuk saling menasihati.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُوَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim, no. 2162)

 Wallahu waliyyut taufiq, semoga Allah beri petunjuk.

Referensi:

  1. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  2. Tamam Al-Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani.Khalid bin Mahmud Al-Juhani. 
  3. Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 145520.

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Bukan Sekedar Pengakuan

A. Definisi ‘Aqidah
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]

Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]

B. Objek Kajian Ilmu ‘Aqidah[4]
‘Aqidah jika dilihat dari sudut pandang sebagai ilmu -sesuai konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah- meliputi topik-topik: Tauhid, Iman, Islam, masalah ghaibiyyaat (hal-hal ghaib), kenabian, takdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan, termasuk pula sanggahan terhadap ahlul ahwa’ wal bida’ (pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah), semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.

Disiplin ilmu ‘aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah (golongan-golongan) lainnya.

Penamaan ‘Aqidah Menurut Ahlus Sunnah:
Di antara nama-nama ‘aqidah menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:

Al-Iman
‘Aqidah disebut juga dengan al-Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ‘aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al-Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits Jibril Alaihissallam. Dan para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut istilah ‘aqidah dengan al-Iman dalam kitab-kitab mereka.[5]
‘Aqidah (I’tiqaad dan ‘Aqaa-id)
Para ulama Ahlus Sunnah sering menyebut ilmu ‘aqidah dengan istilah ‘Aqidah Salaf: ‘Aqidah Ahlul Atsar dan al-I’tiqaad di dalam kitab-kitab mereka.[6]
Tauhid
‘Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Shifat. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu ‘aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid secara umum menurut ulama Salaf.[7]
As-Sunnah
As-Sunnah artinya jalan. ‘Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum di dalam masalah ‘aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.[8]
Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.[9]
Al-Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al-Fiqhul Ashghar, yaitu kumpulan hukum-hukum ijtihadi.[10]
Asy-Syari’ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah ‘aqidah).[11]
Itulah beberapa nama lain dari ilmu ‘Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus Sunnah menamakan ‘aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asyaa’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.

Penamaan ‘Aqidah Menurut Firqah (Sekte) Lain:
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari ilmu ‘aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah:

Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mu-takallimin (pengagung ilmu kalam), seperti aliran Mu’tazilah, Asyaa’irah[12] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam itu sendiri merupa-kan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu.
Baca Juga  Ziarah Kubur
Dan larangan tidak bolehnya nama tersebut dipakai karena bertentangan dengan metodologi ulama Salaf dalam menetapkan masalah-masalah ‘aqidah.

Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam ‘aqidah, karena merupakan pe-namaan yang baru lagi diada-adakan. Di dalamnya terkandung igauan kaum Shufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam ‘aqidah.
Penamaan Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam. Penamaan ini terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam.

Dr. Shabir Tha’imah memberi komentar dalam kitabnya, ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan: “Jelas bahwa Tashawwuf dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan setiap negeri dengan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara ibadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.”[13]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir (wafat th. 1407 H) rahimahullah berkata di dalam bukunya at-Tashawwuful-Mansya’ wal Mashaadir: “Apabila kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran Shufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab Shufi baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak pernah melihat adanya bibit-bibit Shufi di dalam perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para hamba-Nya (setelah para Nabi dan Rasul). Sebaliknya, kita bisa melihat bahwa ajaran Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke-zuhudan Budha, konsep asy-Syu’ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunani, dan pemikiran Neo-Platonisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan.”[14]

Syaikh ‘Abdurrahman al-Wakil rahimahullah berkata di dalam kitabnya, Mashra’ut Tashawwuf: “Sesungguhnya Tashawwuf itu adalah tipuan (makar) paling hina dan tercela. Syaithan telah membuat hamba Allah tertipu dengannya dan memerangi Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Tashawwuf adalah (sebagai) kedok Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang ahli ibadah, bahkan juga kedok semua musuh agama Islam ini. Bila diteliti lebih mendalam, akan ditemui bahwa di dalam ajaran Shufi terdapat ajaran Brahmanisme, Budhisme, Zoroasterisme, Platoisme, Yahudi, Nasrani dan Paganisme.”[15]

Ilaahiyyat (Teologi)
Illahiyat adalah kajian ‘aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah sehingga nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala menurut persepsi mereka.
Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Baca Juga  Wajibnya Mencintai Dan Mengagungkan Nabi Muhammad Serta Larangan Ghuluw
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) ‘aqli maupun naqli. Sesungguhnya ‘aqidah yang mempunyai pengertian yang benar yaitu ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih serta Ijma’ Salafush Shalih.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Lisaanul ‘Arab (IX/311: عقد) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614: عقد).
[2] Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa Shifat Allah.
[3] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul ‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[4] Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 12-14).
[5] Seperti Kitaabul Iimaan karya Imam Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (wafat th. 224 H), Kitaabul Iimaan karya al-Hafizh Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah (wafat th. 235 H), al-Imaan karya Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H), رحمهم الله
[6] Seperti ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits karya ash-Shabuni (wafat th. 449 H), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 5-6) oleh Imam al-Lalika-i (wafat th. 418 H) dan al-I’tiqaad oleh Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H), رحمهم الله.
[7] Seperti Kitaabut Tauhiid dalam Shahiihul Bukhari karya Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H), Kitaabut Tauhiid wa Itsbaat Shifaatir Rabb karya Ibnu Khuzaimah (wafat th. 311 H), Kitaab I’tiqaadit Tauhiid oleh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat th. 371 H), Kitaabut Tauhiid oleh Ibnu Mandah (wafat th. 359 H) dan Kitaabut Tauhiid oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (wafat th. 1206 H), رحمهم الله.
[8] Seperti kitab as-Sunnah karya Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H), as-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat th. 290 H), as-Sunnah karya al-Khallal (wafat th. 311 H) dan Syarhus Sunnah karya Imam al-Barba-hari (wafat th. 329 H), رحمهم الله.
[9] Seperti kitab Ushuuluddin karya al-Baghdadi (wafat th. 429 H), asy-Syarh wal Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) dan al-Ibaanah ‘an Ushuuliddiyaanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat th. 324 H), رحمهم الله.
[10] Seperti kitab al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th. 150)
[11] Seperti kitab asy-Syarii’ah oleh al-Ajurri (wafat th. 360 H) dan al-Ibaanah ‘an Syarii’atil Firqah an-Naajiyah karya Ibnu Baththah
[12] Seperti Syarhul Maqaashid fii ‘Ilmil Kalaam karya at-Taftazani (wafat th. 791 H).
[13] Ash-Shuufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan (hal. 17), dikutip dari Haqiiqatuth Tashawwuf karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan (hal. 18-19).
[14] At-Tashawwuf al-Mansya’ wal Mashaadir (hal. 50), cet. I/ Idaarah Turjumanis Sunnah, Lahore-Pakistan, th. 1406 H.
[15] Mashra’ut Tashawwuf (hal. 10), cet. I/ Riyaasah Idaaratil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’, th. 1414 H.